Cerpen "Dendam"

Sore hari itu takkan pernah ku lupa dalam masa dimana seperti hidupku terasa sangat berat, ya banyak sekali rintangan diawal babak baru kehidupan setelah kebahagian itu kuanggap telah selesai. Dan semua sangatlah menyakitkan. ---

Pagi ini aku duduk dikursi kayu teras depan rumah, seperti biasa aku memulai kegiatan sekolah. Aku tinggal dikota ini sudah belasan tahun, hidupku sangatlah indah walaupun terasa kelit namun aku yakin suatu saat akan berubah. Kenalkan aku cakra anak laki-laki dari seorang janda parubaya, bapakku meninggal saat aku dalam kandungan. Ibuku wanita tegar yang selalu mengasihiku walaupun aku tahu betapa ketirnya suasana hatinya pada saat itu.
Aku termenung setelah mengikat tali sepatu,” cakra cepatlah pergi nak, nanti kau terlambat” mengejutkanku dari belakang sekaligus menyadarkan aku dari pikiran panjang pagi itu.                    “ baiklah bu” menyalimi tangan ibu. “jangan lupa kau antar surat ini kepada pak riyanto, itu surat penting” ujar ibu sambil mengusap kepalaku.
Aku berjalan melintasi jalan yang gelap abu-abu suasana disini masih sunyi, dingin sekali..
aku dan setumpuk buku didalam tas yang ingin mengejar cita-cita. Membangkitkan seluruh usaha dalam diri untuk masa depanku yang akan datang.
Setiap hari aku berangkat naik kendaraan umum,kadang aku terhimpit dalam keramaian ya beginilah nasib orang kota. Namun pagi ini aku beruntung buswaynya masih sepi mungkin karna aku datang kepagian ataukah memang hari ini orang-orang libur semua? Ah entahlah aku tersenyum simpul sendirian.
Menatap kendaraan lalu lalang sibuk balapan mengejar tujuan. Terlintas dibenakku betapa kejamnya dunia yang sesungguhnya, aku mulai merasa pahit ketirnya kehidupan semenjak aku bertambah dewasa. Dulu ketika aku kecil tak tahu apa-apa ibu memanjakan aku, segala kebutuhanku tercukupi, karna aku belum mengerti ternyata apa yang ia usahakan dahulu.  Namun sekarang ia bertambah usia, kekuatan tubuhnya tak setegat dahulu. Aku mulai menyadari bahwa bukan hanya dia yang mesti banting tulang, tapi aku juga mesti turun tangan membantunya.
“ dek turun mana? “ kenek busway menanyai seperti kebingungan “ eh iya, sman 5 bang” memfokuskan mataku yang sedari tadi menatap jalanan. “ ok deh, masih jauh lanjutin aje ngelamun ntar abang stopin deket sana tuh” meledekku sambil tersenyum-senyum.                  Aku hanya tersenyum simpul membalas lawakan pagi hari begini. Namun tetap saja ada sesosok wanita tua berdiri membelakangi busway ini, aku memutar kepala seolah aku mengenalinya. Ia mengais isi kotak sampah dipinggir jalan, bajunya compang camping, rambutnya dikuncit kelabang namun sudah berantakan, wajahnya memerah bak usai terbakar matahari. Wanita itu menggendong sesuatu dibelakang bahunya, apakah itu bayi? Pikirku dalam hati. Sungguh ironi. Tapi wajah itu kenapa sangatlah tak  asing?
“ smanli ada gak? Yang turun halte smanli? “ teriak abang kenek busway
“ eh ade bang,” seseorang wanita menyahut. Akupun hampir saja terlewatkan. Sepanjang perjalanan ke gerbang sekolah aku baru menyadari surat yang ibu berikan tadi “hmmm…. Apa ya isi surat yang ingin ibu kirim ke pak riyanto?” aku bertanya-tanya dalam hati.
Pak riyanto kepala sekolah sman 5 balik papan. Ibu ku memang mengenalnya secara baik, karna aku sudah kelas 3 sma banyak keperluan yang ingin dibayarkan, jumlahnya pun tidak sedikit. Bagaimana aku mengatasinya, sedangkan ibu bekerja hanya cukup untuk makan. Selama 1 tahun belakang ini aku membiayai ongkosku sendiri melalui jualan kue-kue yang aku beli sebelum pergi sekolah. Aku memang laki-laki tapi inilah kehidupan ketirku, setelah jam istirahat aku berjulan kue-kue kepada temanku, yang untungnya lumayan banyak karna mereka mayoritas membeli makanan dari ku, karna malas ke kantin.
Aku baru ingat surat yang ibu berikan tadi, tapi daganganku belum habis. Terpaksalah kutitip pada teman sekelasku. Menyusuri lorong-lorong sekolah ini, sekolah ku salah satu sma favorit di balik papan. Beruntung aku lumayan ulet jadi bisa menembus masuk sma ini. ---
“ tap tap tap “ suara sepatu melangkah dari belakangku, benar saja pak riyanto ada dibelakangku. Cepat-cepat aku memutar badan “ assalamualaikum pak, begini ada titipan dari ibu untuk bapak. Saya tidak tahu apa isinya katanya berikan saja pada bapak” menggaruk kepala. “ waalaikumsalam, iya saya terima ya. Wah cakra jangan-jangan ibu kamu mengagumi bapak ya? “ sambil tertawa. “bergurau sajalah cakra jangan kau ambil pusing” tertawa lagi. “ wah saya jadi tidak enak pak, terimakasih pak maaf saya mengganggu” tersenyum simpul
Kira-kira apa yang ibu kirimkan kepada pak riyanto? Hatiku terus bertanya sedari tadi…….
“Cakraaaaaaaaaaaaaaaaa” teriakan kinan dari belakang. Aku hampir saja terkaget-kaget. Perempuan satu ini memang temanku sedari bangku smp sampai sekarang, ia teman yang selalu ada disampingku dalam posisi apapun itu. “ nan kamu bisa gak, gak teriak seperti itu orang-orang melihat kamu jadi sinis begitu, apa kamu gak malu” ocehku sedikit dongkol. “ aku gak peduli yang penting aku gak ganggu mereka terserah orang mau menyebut aku apa, selagi masih batas wajar” ujar kinan. “ kalau sudah lebih dari batas kewajaran bagaimana tuh ? kamu pukuli mereka ya, kamu ini temanku yang belum berubah-berubah sampai sekarang” ledekku. Kami menyusuri koridor sekolah sambil bercanda seperti biasanya.
“ cak tadi kenapa kamu ngobrol sama pak riyanto?” Tanya kinan.. “ hmm begini nan aku….” Aku baru teringat dagangan kue-kue ku dikelas. Bisa saja diar dan geng merusak nya karna dia sering sekali memalak dan menghinaku karna aku orang susah. “ nan aku tinggal dulu ya, ada hal penting” ucapku sambil berlari
Benar saja suasana kelas menjadi ramai karna ulah diar, ia menyerukan teman-temannya untuk makan kue-kue itu sepuasnya. “ diarrrrr! Kamu itu punya hati tidak!! Kenapa kamu melakukan ini?” ucapku rasa ingin menonjoknya tapi karna kejadian bulan lalu aku sampai masuk ruang bp karna terlibat perkelahian dengan diar. “ halah ku bayar cakra, berapa sih harga kue-kue mu ini, uang didompetku bahkan bisa membeli 10x lipat dari daganganmu ini, bahkan dirimu saja bisa kubeli apalagi kue-kue yang tidak seberapa ini” ucap diar menatap wajahku. Rasanya aku ingin memukuli wajah anak ini tapi, aku tak mau merepotkan urusan guru karna persoalan seperti ini,
“ baiklah diar aku memang tidak sekaya kamu, tapi saya masih mempunyai adab kepada seseorang walaupun dia itu orang miskin sekali pun” berbicara lantang didepan kelas.
“ ahhahahaha, sudahlah cakra kamu itu syukur-syukur masih diberi kesempatan untuk sekolah di sma ini, lagian ini kebagusan untuk kamu. Cocoknya tuh di slb, iyakan teman-teman?” diar tertawa.
Aku masih diam disini, terkadang rasanya memang tidak pantas aku bersekolah disini, kebanyakan orang kaya dan anak pejabat, sedangkan aku? Makan pun susah, bapak ku pun telah tiada hanya seorang ibu yang sudah tua pontang-panting bekerja untuk membiayaiku sekolah disini. Aku hanya membebaninya saja”gumamku dalam hati”.
Aku terdiam melihat dan mendengar apa yang dikatakan diar kepada ku, ku punguti kue-kue yang jatuh berhamburam dikelas karna ulah diar dan temannya. Hatiku kali ini seperti tersentak begitu dalam sampai aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Ucapan diar memang sangatlah benar dan aku tetaplah diriku anak seorang wanita parubaya tak berdaya.
Sepulang sekolah rasanya ucapan diar masih membekas dikepalaku, aku memang laki-laki pantang bagiku menangis dan menunjukan raut sedih dari wajahku. Tapi hatiku teriris saat ini.---
Ibuku yang sudah berkepala empat tak kuasa menahan beban setiap hari jikalau ia mesti tetap bekerja di pabrik roti, kadang sampai malam hari ia pun baru pulang. Aku tak kuasa tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa berusaha agar aku kelak dapat menggapai citaku. Tanpa menyusahkan ibuku lagi. --
Kami berbaring di sofa reot yang sudah tak empuk lagi, sembari aku memijati kaki ibu                  “ bu, aku ingin tanya surat apa yang ibu kirimkan kepada pak riyanto?” tatapku dalam-dalam kepadanya. “ bukan apa-apa cakra sudahlah tak usah membahas yang bukan urusanmu”. Ucapnya mengalihkan pertanyaan. Sembari terus memijat kaki ibu aku masih terus bertanya-tanya dalam hati. “  --
Malam yang gelap dihari sabtu, wanita itu terlihat mencari – cari sesuatu di pinggir jalanan sembari menundukan wajahnya, ia berjalan seperti orang mabuk. Tiba-tiba suara lonceng seperti dikereta kuda terngiang dikepalanya. Ia seperti kehilangan akal, terus menggerutu bahasa yang tak ku mengerti. Aku mencoba mendekatinya namun ketika ia membalik dan mendongakkan kepala ternyata wajahnya penuh dengan luka-luka, wajah itu seperti tak sing lagi dibenakku.                                                                                                                            Ya, dialah wanita yang ku dapati dijalanan ketika hendak pergi ke sekolah. Kenapa ia berjalan sendirian selarut ini. Tapi kemana anak yang digendongnya waktu itu? Aku menatapnya sambil ketakutan, ia seperti orang kelaparan, wajahnya di penuhi warna merah yang sepertinya bekas darah. Apakah yang dia inginkan sebenarnya? seperti mengendus bau tubuhku dia terus mendekat seolah aku tawanannya. Apakah ia ingin memakan ku? Tanyaku sendiri. Oh tidakk…tidakkkkkkk. Ketukan pintu menyadarkan aku bahwa hari telah pagi, ternyata aku hanyalah bermimpi, tapi kenapa wanita itu sampai masuk kedalam mimpiku? Tanyaku dalam hati. Siapakah dia?? Dan apakah pertanda mimpi itu?
Ibu masuk kedalam kamar ku yang kelihatan berantakan,  pagi ini mendung cuacanya kurang bersahabat sedari tadi diluar hujan gerimis, kebetulan aku hari ini libur karna hari minggu.
“ kenapa kamu teriak tadi cakra, ada apa? Sudahlah bangun sudah ibu siapkan sarapan, oh ya ibu hari ini kerja pagi pulang jam 12 jadi kamu bereskan rumah ya” ibu berkata seraya melipat beberapa helai pakaian ku yang terjatuh dibawa kasur. “ tid..akk bu tidak apa-apa aku hanya bermimpi buruk tadi, iya baiklah bu” ucapku terbata-bata.
Ibu meledekku dan mengatakan mimpi itu hanya bunga tidur, tak perlu difikirkan terlalu dalam tapi jika terdapat pelajaran ambil manfaat dibalik peristiwanya. Aku jadi tidak takut lagi setelah ibu menasehatiku.
“du..dudu..du “ aku bernyanyi-nyayi tidak jelas. Tapi tiba-tiba terlintas dipikiranku kenapa aku selalu bertemu dengan wanita itu, kenapa? Ada hubungan apa aku dengannya? Sampai aku memimpikan dia.
--
Hari itu laki-laki parubaya membuka sebuah surat, ditemani secangkir kopi. Ia termenung duduk dikursi jati teras rumahnya. Cuaca hari itu sejuk karna hujan gerimis di hari minggu pagi. Tulisan yang rapi dan penuh teka-teki. Hidup laki-laki itu memanglah berkecukupan tapi ia terlihat kesepian, dibacanya surat itu dengan seksama sembari menggunakan kacamata, karna usianya yang sudah dikatakan parubaya. ---
Teruntuk teman baikku
Aku memang belum bisa menemukan, adinda soraya karna aku tak berdaya, hidupku yang rumit ini seolah memaksaku untuk berhenti sebentar untuk mencarinya. Sejak kejadian tewasnya anakmu akibat diriku, tak sengaja peristiwa itu membuat istrimu menjadi depresi. Memang kuakui aku bersalah dan sampai saat ini aku terus merasa begitu. Adinda soraya adalah teman baikku tapi kini entahlah dia dimana. Mohonlah riyan kau maafkan aku, tak usahlah kau berpura-pura baik didepanku sebenarnya hatimu masih sangat terluka atas kepergian anakmu dan hilangnya istrimu. Setiap malam aku selalu teringat kejadian pada malam itu. Aku belum bisa melupakannya wahai riyan. Kiranya surat ini membuatku sedikit tenang karna aku sampai saat ini masih terus bersalah. Maafkan aku
                                                                                                                             Rahayu
Menutup lamat-lamat surat itu. Ia diingatkan lagi tentang kejadian pada tanggal 11 desember 1999.

Malam yang awalnya membawa kegembiraan bagi dirinya dan keluarganya, anaknya genap berusia satu tahun. Perayaan besar tak terelakan, sebagai teman sedari sma, Rahayu teman baiknya di undang menghadiri perayaan hari itu. Anaknya perempuan bermata besar serta berkulit putih yang pada saat itu sudah bisa mulai berjalan. Tapi saat itu juga Rahayu mengajaknya anaknya bermain, tak disangkal anaknya memang lucu dan sangat cantik. Pada saat itu Rahayu mengajaknya berkeliling disekitar taman rumah temannya, anak yang sudah bisa berjalan itu berusaha berjalan-jalan kecil tapi ia sempat tersandung dan memegang tiang lampu taman. Lampu itu menjadi saksi bisu kejadian malam itu, aliyah anak perempuan lucu itu tersengat listrik lampu taman. Awalnya wanita itu terkaget-kaget melihat aliyah, ia gemetar dan ketika wanita itu menariknya, telapak tangannya telah menghitam seperti terbakar.
Rahayu dijadikan pembunuh oleh orang-orang yang hadir pada saat itu. Rahayu dan suaminya merasa sangatlah tak berdaya. Istrinya hanya bisa menangis sebenarnya ia sedang mengandung seorang anak, ia begitu paham bagaimana rasanya kehilangan seorang anak pada hari yang sama ketika anak itu dilahirkan. --
Soraya, uring-uringan dan sering merasa bahwa anaknya masih hidup. Sebagai suaminya, ia tidak bisa terus begini. Sampai pada puncaknya soraya menjadi depresi dan sering melakukan hal bodoh seperti ingin melukai suaminya sendiri. Riyan yang pada saat itu tak tahu apa-apa hampir saja merenggang nyawa karna ulah istrinya yang tak sengaja menghidupkan listrik lalu menyodorkan tangan suaminya kedalam aliran listrik yang sudah terkena air. “ lebih baik kau mati saja, kau hanya diam tak bisa berbuat apa-apa! Benarkan, anakku mati dan kau tak berbuat apa-apa dasar gila kau” ujar  soraya seperti kesetanan. “ sudahlah kejadian itu sudah berlalu, sudah ditakdirkan tuhan segalanya. Kau tak perlu merasa dendam soraya, kita bisa menyelesaikan masalah ini secara baik-baik”. Seraya mendorong istrinya kebelakang. Dan akhirnya istrinya terpental kebelakang dan terjatuh.
Sejak saat itu soraya melarikan diri dari rumahnya sendiri dan sampai saat ini ia tak tahu dimana.
--
Laki-laki itu hidup sendirian sebatang kara ia bergelimang harta namun kesepian.
--

Pukul dua belas, ibu seharusnya sudah pulang belum ada tanda-tanda kepulangannya. Siang itu cuaca masih saja tetap mendung, apakah akan turun hujan yang deras ya?
Aku masih menunggu ibu, sambil menonton televisi. Tak terasa sudah pukul satu siang, sudah satu jam aku menunggu ibu.
Mengintip kearah jendela, seperti hujan akan turun dan benar saja hujan turun deras sekali.
“ mungkin ibu kehujanan, jadi ia berteduh dulu.” Ucapku
--
Wanita itu berjalan hendak pulang kerumah menggunakan payung merah. Seusai bekerja ia pun mampir ke warung nasi hendak membeli lauk, karna sedari pagi ia belum memasak lauk makan siang. Seusainya ia berjalan menyusuri jalan menuju rumahnya, ia memutuskan untuk memakai jalan alternatif supaya lebih cepat sampai kerumah karna takut hujan deras akan tiba.
Jalanan itu kelihatan sepi, seperti tidak pernah dilalui manusia. Sesekali ia menoleh kebelakang karna terlalu sepi.
Perasaanya seperti ada yang mengikutinya dari belakang, namun ia tetap berjalan. Sampai akhirnya ia harus berhenti di depan rumah tua, karna hujan deras berangin yang membuat payungnya serasa ingin terbang. Ternyata perasaannya semakin tidak enak, kenapa seperti ada orang yang memandangnya dari jauh tapi ia tetap mengabaikan perasaan itu. Duduklah ia dikursi depan rumah tua yang nampaknya kosong itu. Sembari menunggu hujan reda ia berusaha menghubungi cakra yang pastinya sudah menunggu ia dirumah. Menekan ponselnya dan mendekatkan ponselnya keteliganya. Namun tiba-tiba “ PLAKKK” suara kayu membanting ponsel wanita itu. Ia belum sempat menoleh, bayangannya mulai memudar seperti habis ditimpa balok besar. Ia belum sepenuhnya pingsan ia berusaha berlari dari serangan itu namun ia dikejar dan di seret oleh seseorang yang asing. “ lepaskan aku, ambil saja tas ku ini. Aku hanya wanita miskin tak usah kau berharap banyak jika ingin merampokku” ucapnya sambil meraung kesakitan. “ Hahaha, “ orang itu hanya tertawa. Dan terus menjambak rambut ibuku seraya menyeretnya. Ibuku berteriak minta tolong namun suasana sedang hujan deras, tak ada seorang pun yang melintas dijalan ini. Jalan ini begitu sepi --
Pukul dua lewat tiga puluh, yang benar saja ibu belum sampai juga. Hatiku semakin gelisah, kemanakah ibu?! Ku putuskan untuk menghubunginya namun ponselnya tidak aktif.
Hujan diluar sangatlah deras dan berangin. Aku memutuskan untuk tetap menunggu dirumah dan tetap berprasangka baik.
--
Sore ini menjadi sore terakhir dalam kehidupan wanita itu, kepalanya sudah begitu sakit. Ditambah pukulan balok kayu mengenai kepalanya, darah itu mengalir bersama air hujan. Rasanya sudah tidak tahan lagi, ia pergi untuk selama-lamanya. ---
Petir menyambar dari luar jendela, hatiku semakin risau. Aku memutuskan untuk menyusul mencari ibu. Namun aku tak menemukan pertanda apa-apa. Hujan deras membasahi seluruh tubuhku. Hingga aku mendengar kabar dari seseorang ada ibu-ibu tewas didekat rumah tua dijalanan yang sepi itu.
“apakah itu ibu?” aku berteriak
Sekencang angin aku berlari menuju jalan itu, benar saja sudah banyak kerumunan warga melihat mayat perempuan parubaya itu.
Kulangkahkan kaki ku, aku gemetar tak mau melihat tapi aku harus mencari tau.
Sore itu kelabu, dia wanitaku, ibuku telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Hatiku seolah tertikam benda yang melukai sanubari. Begitu dalam sangat dalam.
“IBUUUUUU, JANGAN KAU TINGGALKAN AKU SENDIRIAN DISINI” aku menjerit,menangis. Orang-orang hanya melihatku sambil memberiku nasihat agar tidak menangis.
Aku telah kehilangan semangat hidupku. Aku bukan siapa-siapa lagi.
---
Setelah kepergian ibu, aku sering melamun dan tiada semangat untuk menjalani hidup ini. Aku masih bertanya-tanya siapakah pelakunya? Begitu banyak pertanyaan dalam diri ini yang belum terjawabkan.
Aku hanya sendirian.
Cerita ku menjadi suram kelabu dan tiada arah semenjak kejadian itu. Aku kehilangan arah dan akal.
Sendiri kadang menyakitkan, bahkan kesepian adalah hal paling mematikan. Tak bersuara, tak mempunyai tanda-tanda tapi sangatlah berbahaya.
Ibuku bernama Rahayu, Pak Riyanto sangatlah kaget mendengar kabar meninggalnya ibuku. Ia tak menyangka bahwa nasib ibuku setragis itu. Setelah menyelidiki kasus pembunuhan ibuku, ternyata pelakunya adalah istri Pak Riyanto yang masih menaruh dendam kepada ibuku sampai saat ini.
Wanita yang pernah kutemui saat itu, ternyata dialah pembunuh ibuku.

Komentar